Catatan Ringan

Penolakan Warga Pada Rapid Test Banyak Terjadi. Ada Apa?

Penolakan Warga Pada Rapid Test - Foto: Hermawan/DetikNews

Kenapa terjadi penolakan warga pada Rapid Test Covid-19? Kemungkinan karena tingkat kepercayaan pada pemerintah (yang lebih sering terlihat sebagai penghimbau) yang sangat rendah.

Di tengah masa pandemi corona di mana pertambahan angka kasus terjangkit belum melandai, ditandai dengan puncak pertambahan tertinggi yaitu 993 kasus pada 6 Juni lalu, di Makassar malah terjadi penolakan warga pada rapid test. Penolakan warga ini terjadi tidak hanya pada satu titik, tapi di beberapa tempat.

Setidaknya, berdasarkan kicauan akun twitter @daeng_info dan @jalanankota, penolakan ini terjadi di beberapa kawasan  di Makassar seperti Barabaraya, Mattoanging, Pannampu, Layang dan Rajawali. Penolakan ini juga terjadi di kota lain, misalnya Ambon dan Kediri di mana warga menghadang dan menggelar aksi menolak kedatangan tim medis.

Penolakan warga ini kemungkinan besar dilatari oleh tingkat kepercayaan pada pemerintah yang kian rendah setelah adanya pandemi ini. Dari awal pandemi, pemerintah seperti kebingungan dan sayangnya masih tampak seperti itu hingga sekarang. Kalau pemerintah saja kebingungan, bagaimana mau meyakinkan warga untuk mempercayai mereka?

Mengutip Detik, “Kita khawatir rapid test karena biasa tidak COVID ji tapi divonis COVID. Baru di sini banyak lansia, jadi kami tolak,” katanya. Arul dan warga lainnya memasang spanduk di sejumlah muara lorong permukiman warga di RW 9 RT 3 sekitar pukul 12.00 Wita. Mereka memasang spanduk setelah menerima kabar akan dilakukan rapid test di area permukiman mereka.

Hasil rapid test (tes cepat) yang akurasinya rendah makin membuat warga jadi tak percaya. Banyak terjadi hasil test seseorang reaktif namun kemudian test berikutnya menunjukkan sebaliknya. Pasien dengan hasil tes cepat yang positif perlu menjalani pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) agar diagnosis bisa dipastikan.  Jika kemudian terdiagnosa positif maka harus menjalani karantina untuk mencegah penyebaran lebih luas.

Konsekuensi harus menjalani karantina ini, baik yang difasilitasi pemerintah maupun secara mandiri, juga menjadi salah satu alasan penolakan. Karantina berarti kehilangan mata pencaharian.  Di sisi lain, banyak yang tidak tersentuh bantuan pemerintah. Kalau pun dapat, bantuan itu tentu saja tak akan mencukupi kebutuhan. Warga tak hanya butuh sembako, ada banyak hal lain yang mereka harus penuhi semacam cicilan dan biaya-biaya lain. Selain dampak ekonomi, beban psikis sebagai orang yang dianggap terpapar Covid-19 juga membayangi warga.

Sayangnya PCR atau juga dikenal sebagai tes swab yang lebih akurat hasilnya butuh proses lebih lama dan rumit. Butuh beberapa hari hasil tes swab ini baru bisa diketahui. Sudah banyak berita tentang korban meninggal, yang demi menghindari penyebaran dan korban bertambah, mendapatkan perlakuan penanganan Covid-19 namun ternyata hasil test menunjukkan negatif. Tidak terjangkit virus namun harus menjalani prosedur pemakaman Covid-19 membuat keluarga tentu merasa kecele.  

Masih banyak orang yang belum bisa menerima perlakuan penanganan khusus terhadap jenazah keluarga mereka ini. Ini berkaitan dengan budaya dan kepercayaan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya tak bisa memandikan, atau sekadar memeluk dan mencium terakhir kalinya orang yang mereka sayangi. Juga tak bisa menentukan sendiri tempat pemakaman, bahkan mengantarkan kepergian pun tak bisa. Tak mudah untuk menerima hal seperti ini. Mereka patuh karena tak ingin kasus bertambah.

Lalu kasus hasil swab yang negatif setelah pemakaman bermunculan. Ini yang kemudian memunculkan penolakan. Mereka sudah menerima tidak melepaskan keluarga dengan layak dan pantas sesuai dengan apa yang mereka yakini lalu kemudian ternyata yang meninggal itu tidak terpapar Covid-19. Kepercayaan warga pada pemerintah yang sudah rendah kemudian makin anjlok karenanya.

“Sudah banyak contoh kasus, kemarin di sini ada warga dibawa ke (pemakaman) Macanda karena dibilang kena COVID, belakangan keluar hasil tesnya, negatif ji,” ujar warga Bara-baraya, Ivan, saat ditemui terpisah. (DetikNews Senin, 08 Jun 2020 13:11 WIB)

Imbasnya adalah bentuk ketidakpercayaan pada pemerintah itu tertumpahkan pada pihak-pihak yang berhadapan langsung dengan pasien yaitu RS dan tenaga kesehatan. Keadaan ini kemudian diperparah oleh teori-teori konspirasi yang menyudutkan RS dan nakes. Mereka yang telah berkorban tenaga dan waktu, plus potensi terpapar yang sangat besar kemudian mendapat tuduhan yang keji. Sudahlah harus menahan siksaan memakai APD dan tak bertemu keluarga dalam jangka waktu lama, eh dituduh pula merekayasa kasus Covid-19 demi uang.

Sekiranya pemerintah bisa menjamin (dan terlaksana) hasil test swab bisa keluar lebih cepat, dalam sehari misalnya, tentu kejadian jenazah yang diperlakukan sesuai SOP Covid-19 padahal negatif tidak akan terulang. Tingkat kepercayaan warga pada pemerintah mungkin akan bisa membaik dan diikuti dengan kepatuhan untuk menjalankan apa yang telah diatur oleh pemerintah. Kasus penolakan pada rapid test mungkin akan berkurang bahkan menghilang.

Plus, pemerintah bisa bertindak lebih tegas dan tidak membuat kebingungan di tingkat warga. Jangan lagi kejadian presiden bilang putih namun ada menteri bilang merah. Begitu pun di tingkat provinsi, jangan lagi terjadi Gubernur menyatakan X eh Pj Walikota bilang Y. Plesetan Pemerintah Suka Bikin Bingung dari PSBB, meski tampak hanya guyonan, sesungguhnya adalah bentuk kekecewaan warga.

Sebagai langkah awal, pemerintah mungkin perlu memperjelas  status Makassar yang tidak melanjutkan PSBB namun belum diizinkan untuk menerapkan new normal.  Ada yang tahu status Makassar sekarang apa?

Comments (5)

  1. Sampai hari ini saya masih merasa simpati sama tindakan pemerintah provinsi Papua dan kota Jayapura. Mereka terkesan lebih tegas. Pemberlakuan pembatasan lebih jelas waktunya dan tindakan di lapangan juga lebih tegas. Akibatnya, jumlah korban juga terus menurun dan kepercayaan warga juga masih membaik.

    Pembatasan jam berkegiatan ini memang berpengaruh pada pendapatan warga, tapi setidaknya masih ada pendapatan walaupun menurun, tapi tidak hilang sama sekali.

  2. identifikasiki sejumlah narasi/informasi/gambar/audio terkait biaya dan tatalaksana C19 yang beredar di grup2, menurutku aliran informasi ini yang viral yang lebih banyak dianut oleh kelompok penolak dan ada kaitannya dengan ‘menurunnya kepercayaan thd pemerintah’.
    Kepingan2 kejadian yang mengandung ‘anu bedeng’, ‘katanya’, ‘saya dengar dari…’, menyebar cepat like wildfire melibas logika sehingga hanya kejelian mengurai urutan kejadian bagi sebagian besar warga yang bisa menolong pemerintah untuk melakukan klarifikasi. Pemerintah juga kurang cepat merespon keliaran informasi di medsos.
    Menurut pengamatanku, topik2 konspirasi pada level global telah berhasil diterjemahkan menjadi topik2 konspirasi harian di level lokal (provinsi/kabupaten) oleh pihak2 yang menggunakan konsep konspirasi untuk mengambil keuntungan (politis) kelompok dari keresahan masyarakat. Intinya adalah memang untuk menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah.

    • Sebelum teori konspirasi merebak apa yang dilakukan pemerintah memang sudah membuat kita jadi kurang percaya pada pemerintah dalam menangani pandemi ini. Pada awal pandemi, alih-alih membendung penyebaran virus, pemerintah malah membuka lebar bahkan mau mengundang orang datang ke Indonesia dengan menganggarkan dana 72 M untuk menggenjot wisata, dengan harapan turis yg biasa ke China dan Korea $elatan beralih ke Indonesia.
      Belum lagi banyak kebijakan yang tumpang tindih antara presiden dengan menteri, menteri dengan menteri dll yang bikin bingung.

      Apa yang kakak bilang itu ada benarnya, bisa jadi ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan celah itu untuk makin menurunkan tingkat kepercayaan pada pemerintah.. terima kasih insight-nya, Kak 🙏

      • Di awal pandemi memang negara kita menjadi oportunistik. Tetapi ini masih wajar karena ‘pengetahuan umum’ mengenai ability dan kelemahan C19 masih terbatas pada bulan2 awal. Respon yang tergesa2 dari pejabat2 tinggi juga harus diakui mengabaikan (atau mungkin belum sempat) konsultasi pakar di bidangnya. Salah satu episodenya adalah ketika memberi respon ke media kala itu saya melihat kapasitas menkes kita hanya sebagai dokter belaka, bukan seorang pakar di bidang public health sehiingga terkesan asal-asalan membuat warga tenang dan image indonesia tetap sebagai negara yang mumpuni layanan kesehatannya (dengan beliau sebagai menterinya).
        Perlu apresiasi juga pendekatan pemerintah dengan upaya percepatan penanganan dengan menugaskan BNPB sebagai leading istitution dan proses2 akumulasi data di dengan mengerahkan seluruh kekuatan pemerintah di setiap level pemerintahan provinsi /kab/kota. Data2 yang dikumpulkan itu sejatinya adalah compendium dalam mengambil keputusan namun – singkatnya – tidak dijadikan alasan utama dalam pengambilan keputusan2 pengendalian C19 baik di pusat maupun di daerah.
        Pengamatan saya, baru sekitar 2 minggu terakhir pemerintah mulai menggunakan terminologi R0, Rt, dll untuk menjelaskan pengambilan keputusan. Sebelumnya lebih banyak menilai dari keluhan2 ekonomi masyarakat khususnya di wilayah berpopulasi tinggi DKI/Jawa/luar Jawa (Makassar) dalam momentum ramadan dan menyambut lebaran sebagai alasan utama mengambil keputusan kebijakan. Menurutku ini yang dimaksud kebijakan lemah, dan membingungkan/tumpang tindih. Kapasitas pemerintah kita terlihat jelas terbatas dalam meneguhkan PSBB sebagai kebijakan yang paling masuk akal, di sisi lain terlihat lemahnya pemerintah kita untuk meneguhkan protokol PSBB yang terefleksi pada jumlah kasus yang masih terus meningkat pada saat PSBB (di Makassar contohnya) dilonggarkan (= dicabut).

  3. Speechless dengan kondisi seperti ini.
    Semoga saja ada hal yang lebih baik dengan pergantian pejabat kota.

Jika Berkenan Silakan Komentar di Sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.